Bagi anda yang baru pertama kali menerima newsletter ini, saya persilakan untuk menelusuri bagian pertama dan kedua dengan mengunjungi the Selling Secret (1) dan (2)

Dua minggu yang lalu saya membeli peralatan sounds di sebuah tempat yang dikenal sebagai pusatnya elektronik. Saya sudah lama mendengar cerita miring mengenai tempat
ini. Memang betul kita bisa memperoleh harga yang bagus tetapi dengan syarat kita memiliki kemampuan menawar dan mengetahui
basic price dari barang yang kita beli.
Sialnya, saya tidak memiliki kedua hal di atas. Tapi saya nekat kesana sendirian.

Pertama, saya masuk ke sebuah toko yang segera sibuk menjelaskan pada saya betapa merk A sangat bagus, dan output-nya cukup untuk ruangan yang saya jelaskan. Lumayan
murah. Cuma, saya merasa tidak ingin sampai melakukan test. Toko kedua bertanya kepada saya, menanyakan kebutuhan saya. Wah, kayaknya pernah ikut training sales, saya
pikir. Saya menjelaskan kebutuhan saya. Dan dia langsung menggugurkan pendapat toko pertama. Dia bilang, output yang dihasilkan tidak akan sesuai, dia menyarankan
peralatan sounds yang lebih besar, dan memilihkan sebuah merk untuk saya. Tapi saya merasa tidak nyaman. Memang betul dia menawarkan produk sesuai dengan kebutuhan
saya dan masuk dalam range harga saya. Tapi saya hanya minta kartu nama dan pergi.

Kemudian saya pikir, saya akan mencoba keberuntungan di  blok lain. Yang saya temukan lebih banyak keraguan. Saya bahkan tidak berani bertanya karena para penjaga toko-
nya semua menatap dengan pandangan tajam dan siap ’menjual’ dengan ’berapi-api’. Ya, saya bisa merasakan itu. Di sebuah gang, begitu berbelok, saya melihat sebuah toko
kecil, tapi barangnya cukup penuh. Saya tertarik untuk masuk dan mulai bertanya tentang peralatan sounds yang cocok untuk saya. Setelah melalui beberapa pertanyaan standar,
mereka mulai menawarkan peralatan yang ada di toko itu. Cukup bagus, tapi range harganya tidak masuk. Kemudian mereka menawarkan sebuah merk lain, tapi dengan jujur
mereka bilang stok mereka kosong, kalau saya mau, mereka akan ambilkan di tempat lain. Salah satu staffnya menyarankan pada saya, dengan nada suara yang tulus, untuk
mencoba  watt yang lebih besar karena speaker-nya  lebih lebar.  Saya merasa sangat nyaman berada di tempat itu, saya sama sekali tidak merasakan intimidasi seperti di dua
toko sebelumnya. Saya kemudian memutuskan dalam hati untuk membeli dari toko ini, meski mereka tidak punya barang, saya akan minta mereka ambil dari toko lain. Saya
menginginkan perasaan aman dan nyaman, bahwa uang yang saya belanjakan memperoleh barang yang sesuai. Singkat cerita, saya membeli dari toko itu.

Dalam perjalan pulang saya lama berpikir, kenapa hal di atas bisa terjadi. Tentu saja! Saya kaget sendiri dengan konsep yang sering saya ajarkan di kelas, yaitu fokus pada
customer anda, dan lebih jauh lagi fokus pada bagaimana membantu customer anda. Saya merasakan dibantu, saya tidak merasa membeli sesuatu. Saya merasa mereka telah
mencarikan barang yang sangat pas dengan uang yang saya belanjakan. Mungkin ini adalah proses pembelian yang sangat berkesan buat saya.

Lantas apa yang terjadi pada dua toko pertama? Jelas, saya merasa tidak nyaman, bahkan merasa di-intimidasi di toko kedua. Meskipun penjualnya menjelaskan dengan sangat
professional. Tapi nada suaranya, yang kemudian di-konfirmasikan oleh perasaan saya, bernada memaksa. Saya kemudian mencoba menghubungkan lagi dengan konsep
sincere selling yang selalu saya bagikan di kelas. Ya, tepat sekali, saya merasa dengan sangat jelas, dua toko pertama ini berusaha keras menjual sesuatu kepada saya. Dan
saya kemudian jauh lebih defensif, lebih hati-hati dan saya mengeluarkan ’enzim penolakan’.

Teman-teman, rasanya teman-teman juga sering mengalami hal di atas. Kita sebagai pembeli bisa merasakan hal itu. Nah, kita sebagai  sales person, pilihan apakah yang akan
kita buat? Selling or Helping ?
Baru saja seorang teman saya menceritakan pengalaman yang sangat menakjubkan untuknya. Dia baru saja melakukan presentasi penjualan kepada sebuah perusahaan
multinasional, di depan Board of Directors yang dikomandani oleh seorang asing. Teman saya ini memperoleh client ini dari temannya juga yang sudah menjadi vendor di
perusahaan itu. Teman saya memperoleh peringatan untuk sangat berhati-hati mempersiapkan presentasi, gunakan logika yang jelas, tidak bertele-tele. Orangnya tegas dan
tidak suka berbasa-basi, meskipun sudah lebih dari lima tahun tinggal di Indonesia.Terus terang teman saya jadi agak ‘takut’ juga, apalagi presentasinya harus pakai bahasa
Inggris. Lengkap sudah!

Setengah jam sebelum meeting dimulai, teman saya sudah duduk manis di ruang meeting dengan direkturnya. Benar saja, tepat pada jam yang ditentukan, sekretaris masuk
duluan, memberitahu bahwa meeting kalau bisa  to the point saja, karena bos mereka waktunya mepet harus menghadiri meeting internal lagi. Beberapa menit kemudian,
seorang asing datang dengan wajah serius. Sang sekretaris memperkenalkan dan setelah selesai bertukar kartu nama, sang sekretaris mempersilakan meeting segera dimulai.
Dalam suasana yang agak kikuk, direktur teman saya memulai pembicaraan dan mempersilakan teman saya untuk memulai presentasinya! Waduh, jerit teman saya,
suasananya kaku sekali. Teman saya tahu dia harus memecahkan suasana ini terlebih dahulu baru melakukan presentasi.

Dengan penuh keberanian, teman saya cerita dia memulai dengan menyapa orang asing itu dengan sebutan Pak, “May I call you Pak? It seems that you’re very Indonesian. I used
to report to an European and he loved people calling him pak. Is that OK?” Suasana agak terdiam sejenak, sebelum orang asing itu mulai tersenyum dan berkata “Sounds great!
What country your boss were coming from?” Ketika disebutkan nama Negara dan kebetulan sama, maka asyiklah teman saya bercerita. Di tengah pembicaraan seorang wanita
memasuki ruangan, ternyata salah seorang dari anggota board directors. Teman saya dengan santai mengatakan,”I think we have met once, ibu.”
Sang direktur wanita tampak kebingungan, sebelum tertawa tergelak-gelak karena teman saya mengatakan,”Just a few minutes ago at the elevator. I tried to smile to you, Ibu, but it
seems that you’re very busy preparing a lot of questions for this meeting….”
Semua orang di ruangan itu tertawa.

Meeting kemudian berjalan dengan sangat menyenangkan, penuh dengan humor di sana-sini. A great meeting! Cerita yang sederhana dan mungkin sering anda alami sendiri.
Tapi anda lihat betapa seriusnya tahapan 5 minutes connection ini. Tidak bisa anda lewati, kalau kepepet mungkin bisa anda persingkat, tapi tidak dilewati.

Kenapa kita memerlukan 5 minutes connection? Simple, kita selalu bertemu dengan orang bukan dengan perusahaan. Memang betul kita menghadapi presiden direktur tapi dia
tetap seorang manusia. Manusia memiliki feeling, thingking, willing. Pada saat kita bertemu dengan presiden direktur, kita juga bertemu dengan bapak anu yang merupakan
seorang manusia juga. Dan saya pikir semua orang memerlukan semacam kehangatan pembicaraan.

Teman saya bisa saja langsung memulai presentasinya tanpa melakukan 5 minutes connection, tapi apa yang akan terjadi? Kemungkinan suasana presentasi sangat hambar
dan kaku serta penuh pembicaraan bisnis yang membosankan.

Dalam diri kita ada dua sisi yang selalu kita paksakan tampil dalam suasana meeting. Biasanya secara sadar kita akan memunculkan sisi perusahaan kita, bahwa kita adalah
seorang pejabat perusahaan yang mewakili kepentingan perusahaan. Cuma sisi manusia kita selalu mencari jalan untuk juga tampil. Sebuah sentuhan yang tepat akan
memunculkan kedua sisi ini sama baiknya.

Dengan melakukan 5 minutes connection, kita kemudian telah ’berjabat-tangan’ dengan seorang ’presiden direktur’ dan dengan seorang manusia. Bukankah suasana yang
hangat jauh menjamin keberhasilan presentasi  kita?

Ingin melanjutkan?
The Selling Secret (3)
Focus on Helping
The Selling Secret (4)
5 Minutes Connection
copyrights 2020 Access One Indonesia
created by Lelo Digitals